THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES
Photobucket
ALL THE PICTURES IN THIS BLOG ARE SURELY AND STRICTLY NOT MINE! THE PICTURES ARE TAKEN FROM GOOGLE AND BELONG TO RIGHTFUL PEOPLE WHO MADE THEM. THE STORY IN THIS BLOG IS RIGHTFULLY BELONGS TO 謝佳君. THERE ARE NO COPYING AND THIEVERY OF THIS STORY. THANK YOU VERY MUCH

Sunday, April 18, 2010

FAIRY TALES

-

I. Reverse of Aladdin
Part One
-

Aku berdiri di seberang sebuah bangunan besar memanjang. Bangunan itu bernama Leffayles dan adalah sekolah terbesar di kota Leaf dan termasyur di negara ini.
Di dalamnya diisi oleh murid-murid kaya juga pintar. Walaupun tidak memiliki kekayaan yang melimpah untuk memasuki sekolah itu, jika memilih kelebihan atau kepandaian, sekolah itu pasti akan mempertimbangkannya. Umumnya sih masuk semua.

Pagi hari seperti ini, bisa kulihat murid-murid Leffayles memasuki pintu gerbang. Seragamnya pun bagus sekali dan terlihat elegan, baik untuk perempuan atau laki-laki.

Aku tersenyum kecil.
Menjadi mimpiku sejak dulu untuk memasuki sekolah itu.
Tapi...
Aku menoleh ke belakang, dimana rumah kecil yaitu cafe mini lalu ke pakaian waitress yang kupakai.
Aku tidak memiliki bakat atau uang yang cukup untuk memasuki Sekolah itu. Sekolah pun aku tidak, hanya sampai di sekolah menengah atas saja. Tepat di depanku adalah Spring cafe yang dimiliki oleh keluargaku, Springfield. Cafe sekecil ini lumayan populer di kalangan murid Leffayles.

Ironik sekali.
Tanganku memegang dinding rumah cafe dan kepala menunduk.
Sekolah yang kuidam-idamkan hanya sejauh jalan seberang, tapi tidak bisa kumasuki.
Sedihnya.
Rasanya aura suramku keluar.

"Rue! Sedang apa kau di luar???" ibuku memanggil.

"Iya. Aku segera datang!"

Aku pun langsung bangkit dari aura suramku. Tidak pernah ada yang bilang kalau menjalankan usaha kecil keluarga tidak akan punya masa depan yang cerah.
Dengan tatapan penuh cahaya, aku menoleh ke sekolah terkenal di seberang.

Aku pasti akan masuk!
Tangan kananku di pinggang dan tangan kiriku mengancung ke langit. Kakiku terbuka lebar seperti atlet. Masa depanku secerah  langit yang kutunjuk. Pasti!

"Rue! Apa yang kau lakukan di luar dengan pose aneh seperti itu!? Kau bisa membuat lari pengunjung!" seru ibuku lagi.
Tidak lama setelah itu, langit langsung mendung.

...

Tanganku turun dengan lemas.
Aura suramku keluar lagi.
Sulit juga dengan keadaan yang tidak mendukung...
Air mataku banjir keluar.

"Ci ci ci" mendengar suara kecil itu, aku melihat ke tanah.
Seekor cerpelai berbulu putih berdiri di depan kakiku.

"Ah, Loff. Selamat pagi." aku jongkok lalu membelai kepala cerpelai peliharaanku ini.
Loff mendaki ke bahuku melalui tanganku lalu menjilat pipiku.

"Hahaha. Iya, aku tahu. Ayo kembali bekerja."

Biarpun begitu, semangatku untuk masuk sekolah Leffayles belum padam. Tidak akan padam.

~~~

Hari sudah mulai sore.
Cafe juga sudah mulai sepi. Kurasa sebentar lagi ibu akan menentukan waktu tutupnya.
Cafe keluargaku hanya akan tutup jika sudah menjelang larut malam. Tepatnya kalau tidak ada pengunjung yang datang lebih dari dua jam di malam hari, cafe ini akan tutup. Jika masih ada, akan dibuka terus.
Bisa dibilang pula mencari untung sebesar-besarnya.
Dasar ibuku.

Aku melihat ke luar jendela cafe. Murid-murid Leffayles sudah keluar. Mereka pulang sore sekali.

Beberapa dari mereka langsung pulang dan tidak ada satu pun yang jalan kaki. Naik sepeda pun tidak. Kendaraan yang keluar dari pintu gerbang sekolah adalah motor atau mobil.
Dasar sekolah mewah.
Murid di bawah umur pun diperbolehkan untuk membawa kendaraan yang hanya khusus ke sekolah. Kudengar sih Leffayles memberikan kartu khusus untuk itu.

Beberapa dari murid sekolah seberang cafeku ini, menuju kemari. Sepertinya cafe ini belum akan tutup.
Dalam sekejap, cafe ini dipenuhi oleh murid-murid.

"Rue! Cepat bawakan ini!"

"Lalu ini!"

"Ini juga!"

"Itu bersihkan!"

"Meja itu rapikan!"

"Rue! Kau bisa cepat tidak?? Pelanggan menunggu!"

Rasanya air mataku sudah membanjiri wajahku.
Ibuku sudah "Rue sana, Rue sini"
Padahal aku sudah sangat tahu apa yang harus kulakukan.
Sistem kerja di cafe ini hanya dijalankan 4 orang.
Biar kuulang EMPAT orang.
Ayahku, pemilik dan manager.
Ibuku, koki nomor 1 di rumahku.
Adikku, Ron waiter no2 jika aku sedang sakit atau tidak sempat, sebenarnya kerjaan utamanya adalah tukang cuci piring dan gelas.
Aku, waitress SEORANG.

Tidak disangka, Cafe ini buka sampai malam.
Sisa dua orang pelanggan saja yang dari sore tadi terus berbincang-bincang tanpa kenal waktu, yang tidak lain adalah murid Leffayles.
Aku berdiri di counter, siap jika mereka panggil.

Dua gadis yang cantik berbincang di cafe dengan mengenakan pakaian sekolah.
Iri sekali aku dengan mereka.
Aku belum pernah melakukan itu.
Sewaktu sekolah menengah awal itu, aku tidak memiliki banyak waktu untuk duduk di cafe bersama teman-teman. Begitu pulang sekolah, aku langsung kerja.

Gadis berambut biru keperakan menoleh padaku. Aku mengangkat alis dan langsung mendekatinya.

"Ada yang bisa kubantu lagi?" tanyaku.

"Apa cafe ini akan segera tutup?" tanyanya.

Aku melihat ke jam dinding. Pukul 8.30. "Ya, kurasa sebentar lagi."

"Oh, baguslah. Sini, duduk." ucapnya lagi.

"Eh? Tapi--"

Teman berbincangnya yang berambut coklat kemerahan dan berkacamata, menarik kursi dari meja sebelah.
"Tidak apa. Ayo, duduk. Kita mengobrol sampai cafe-nya tutup."

Aku tersenyum.
Senangnya. Aku pun duduk di antara mereka.
"Namaku Alice Cassandra dan temanku Arisa Fayleen. Siapa namamu?" tanya gadis berambut biru perak itu.

"Aku Rue Springfield. Salam kenal." ucapku.

"Kau sudah lama kerja di sini ya? Kami selalu melihatmu setiap kali kami datang kemari." tanya Arisa.

"Cafe Spring ini sebenarnya milik orang tuaku dan ya, aku sudah kerja di sini sangat lama sekali."

"Hm.. Kau tidak satu sekolah dengan kami ya? Kita seumur kan. 17 tahun." aku mengangguk sebagai balasan dari ucapan Alice.

"Lalu, kau sekolah dimana?"

Mendengar pertanyaan Arisa, aku jadi merasa malu dan tidak percaya diri. Aku menundukkan kepala. "... Aku tidak sekolah."

"Eh??" Alice dan Arisa terkejut mendengarku.

"Kenapa??" tanya Alice.

"Aku hanya sekolah sampai menengah atas. Orang tuaku tidak mempunyai biaya yang cukup untuk melanjutkan pendidikanku..." jawabku pelan.

Alice dan Arisa bertukar pandangan. "Oh.. Apa kau tidak ingin lanjut sekolah?" tanya Arisa.

Aku mengangkat kepala. "Tentu saja ingin. Aku... sebenarnya ingin sekali masuk... Leffayles." kalimat terakhir kuucapkan dengan perlahan dan pelan. Agak malu untuk mengucapkannya di depan dua orang gadis cantik yang berseragam sekolah yang kuinginkan. Seperti mengatakan kalimat tidak jelas di depan dua orang putri kerajaan.

"Leffayles menerima murid dengan keterampilan lebih juga kan! Kau punya kesempatan, Rue!" ucap Alice.

"Tapi aku tidak memiliki bakat. Bagaimana bisa masuk..."

Alice menghela nafas. Dia menyandarkan kepalanya di telapak tangannya. Kelihatannya sedang berpikir.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu...?" bisiknya pelan. Arisa pun jadi ikut berpikir.

"Tidak perlu kok. Aku tidak apa-apa." ucapku langsung pada Alice. Alice nampak tertegun. Aku tersenyum kecil. "Bisa berbicara dengan kalian saja aku sudah senang. Fayleen dan Cassandra tidak perlu repot."

Mereka bertukar pandangan lagi. "Tidak bisa begitu. Kami sering kemari dan jujur saja, sangat menyukai cafe Spring ini." ucap Alice.

"Lagipula, jarang ada perbincangan dengan orang lain yang bisa se-asyik ini. Kami sering memperhatikanmu lho, Rue." ucapan Arisa menarik perhatianku.

"He?"

"Iya. Kalau kami mampir kemari, kami pasti memperhatikanmu. Kau kelihatan bekerja keras sekali jika cafe ini sedang ramai. Kami pun memutuskan ingin menjadikanmu teman."

Rasanya baru saja ada angin berhembus lembut, membawa bunga dan sinar-sinar pengharapan yang indah. Menyinari duniaku yang gelap dan dingin.
Ya, aku tahu yang di atas itu agak berlebihan.. Tapi aku.. benar-benar senang sekali.

Tapi... juga aneh.
Aku sedikit mengerutkan alis.
"Kalian... benar-benar...?"

"Hei, hei, kami tidak ingin minum atau makan gratis kok. Kami benar-benar." ucap Alice sambil tersenyum lebar.

Aku tersenyum lebar pula. Dari telinga ke telinga. "Benarkah??? Kalian benar-benar ingin berteman denganku???" mataku berbinar-binar.

"Tentu saja." ucap Arisa.

"Ya, kami juga melihat pose aneh-mu tadi pagi." ucapan Alice yang diucapkan dengan wajah tersenyum cerah itu membuatku merah.
Ternyata Alice itu penampilannya menipu... Dia nampak cantik dan anggun tapi ternyata sifatnya tidak seperti penampilannya... Unik.

"Jadi.." Alice memegang kedua bahuku. "Kau harus masuk ke Leffayles dan kami akan membantumu." kesannya agak memaksa, tapi aku senang. Alice tersenyum percaya diri padaku.

Tapi bagaimana caranya.
Aku tidak punya bakat menonjol dan uang yang cukup.
"... Um.. Caranya?"

Senyumnya terpaku di wajah. "Ehm... Itu sedang on the way di pikiranku..."
sudah kuduga.

"Ah." Alice langsung menoleh pada Arisa.

"Arisa, kau kan si jenius pemecah langit. Apa kau tidak punya ide???" tanya Alice.

Pemecah langit?

"Uum.. Sebenarnya ada, tapi tolong jangan panggil aku pemecah langit..." ucap Arisa sambil membetulkan kacamata.

"Oh ya???" aku dan Alice berseru

"Tapi aku tidak tahu juga benar atau tidak. Di pinggir pantai kota Leaf ini terdapat satu tempat bernama Magic Lamp."

"Oh, Magic Lamp yang sedang populer itu ya?" Alice pun mengetahuinya.
Kupikir hanya aku saja yang tidak tahu.

"Apa itu?" tanyaku.

"Dikatakan jika memasuki tempat itu dan mengatakan apa keinginanmu, pasti akan terwujud." jelas Arisa.

"Karena wilayah ini dekat dengan pantai, jadi banyak sekali murid-murid sekolah kami yang kesana." jelas Alice juga.

"Lalu? Apa keinginan mereka terwujud?" tanyaku.

"Entahlah. Mungkin. Mereka bilang untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan harus melalui beberapa rintangan yang sepadan dengan keinginan itu." jawab Arisa.

"Hah? Rintangan...? Berarti.. belum tentu tempat itu bisa mengabulkan keinginanku..." bisikku pelan pada kalimat terakhir.

"Kurasa.. tidak ada salahnya mencoba, Rue." ucapan Arisa lagi.

"Ya! Kalau tidak mencoba kan kita tidak tahu! Ada kesempatan untuk ini, Rue! Jangan di sia-siakan!" ucap Alice yang entah kenapa antusias sekali.

Ada kesempatan untuk masuk Leffayles.
Sekolah yang kuimpi-impikan..
Ya. Tidak ada salahnya mencoba.
Aku ingin sekali masuk sekolah itu.

"Rue, sudah saatnya tutup." ucap ibuku.

Aku mengangkat alis. "Oh.. Maaf Cassandra, Fayleen. Cafenya--"

"Ya, kami akan datang lagi." ucap Arisa. Alice dan Arisa sudah mengeluarkan uangnya tapi aku menahan mereka.

"Kalian tidak perlu membayar. Anggap saja sebagai ucapan terima kasihku karena ingin menjadi temanku. Bahkan membantuku." ucapku.

Biarpun begitu, Arisa dan Alice tetap menyodorkan uangnya padaku. "Bukan. Aku kan sudah bilang kami tidak ingin minum dan makan gratis. Yang penting, masuklah ke Leffayles." ucap Alice.

Alice menggenggam tanganku yang memegang uang mereka sekarang. Aku tertegun dengan ucapannya juga amat senang dan terharu. Aku tersenyum. "Terima kasih..."

"Kalau begitu, sampai jumpa besok ya!" seru Alice sambil keluar cafe bersama Arisa.

Aku membereskan meja lalu membawa piring dan gelas ke dapur, dimana ibuku yang mencucinya sejak adikku sudah tidur.

"Jadi.. Kau ingin masuk Leffayles?" tanya ibuku mendadak.

Aku terkejut. "I, iya.."
apa ibu mengizinkanku?

"Kalau begitu, besok kau libur." ucap ibuku.

Aku mengangkat alis. "Eh? Ibu serius?"

"Ya. Ron yang menggantikanmu. Tapi ingat ya. Hanya sehari saja." ucapnya lagi sambil tersenyum.
Aku tersenyum lebar pula dan langsung memeluk ibuku. "Terima kasih, bu!"

Ahh..
Hari ini entah ada badai apa menyerang hidupku.
Badai anugerah dari Tuhan yang terbaik. Belum pernah ada badai sebaik ini.
Apa pose depan cafe itu benar-benar dilihat oleh Tuhan???
Senangnyaaaa!

Aku kembali ke kamarku yang berada di lantai 2 cafe Spring. Masih dalam pakaian seragam, aku berputar-putar senang sendiri sambil bersenandung riang. Hari ini hari bahagiaku.

Loff yang tiduran di tempat tidurku memiringkan kepalanya karena melihat perilaku anehku.
"Ah! Loofff!" aku memeluk erat cerpelai putih bermata merah peliharaanku ini.

Loff sampai bercicit kencang karena pelukanku yang erat, tapi aku terlalu senang untuk melepaskannya sekarang.

"Aku senang sekali, Loff!"

~~~

Sesuai dengan janji ibu, aku libur hari ini.
Aku akan ke Magic Lamp sendirian sejak Alice dan Arisa masih sekolah.
Kupikir tempat yang bernama Magic Lamp adalah tempat yang terpencil dan menyeramkan.
Ternyata tidak.

Aku berdiri di depan tempat itu sekarang.
Tempat itu... norak sekali.
Terpampang di depan pantai Leaf dengan tenda kuning orange.
Seperti tenda sirkus walaupun ukurannya kecil.
Membuatku jadi tidak ingin masuk.
Selain karena penampilannya yang aneh, apa yang dikatakan Alice benar juga. Tempat ini populer. Banyak yang mengantri untuk tempat ini.
Itu pun menjadi alasanku tidak ingin masuk ke sana.
Jadi aku memutuskan untuk jalan-jalan di pantai sampai Magic Lamp itu sepi.

Aku pun melepas sendal dan membiarkan kakiku berjalan di pasir pantai Leaf yang halus.
Hari-hari biasa seperti ini, pantai Leaf sangat sepi, tapi jika masuk hari libur atau hari Minggu, pantai ini pasti sangat ramai.

Kupikir dalam beberapa jam saja, Magic Lamp itu akan sepi.
Langit sudah berubah orange.
Tempat apa-apaan ini.
Antriannya baru habis sore hari.
Yang benar saja.

Aku berdiri di depan tenda, menunggu pelanggan sebelumku keluar.
Saat orang itu keluar, wajahnya suram sekali.
Bukannya tempat ini bisa mengabulkan apa saja yang diinginkan.
Dari tadi yang kulihat wajah cerah saat masuk, suram saat keluar.
Meragukan....

"Berikut dan yang terakhir!"

Aku menyibak tirai yang menjadi pintu masuk tenda tersebut. Dalamnya gelap, hanya lampu meja yang menyala redup. Dinding dalam tenda ditempeli oleh stiker bintang dan bulan yang glow in the dark. Ternyata dalamnya tidak se... norak luarnya.

"Pelanggan terakhir, silahkan masuk." ini adalah suara pria yang tadi memanggilku sebagai yang terakhir.

Pria berambut kuning yang jabrik dengan jambang panjang menyambutku.
"Silahkan duduk." pria itu tersenyum sambil mempersilahkanku untuk duduk.
Pria ini punya senyuman yang manis.
Wajahnya pun tampan dan tampak ramah, kaca mata yang dipakai olehnya pun tidak menutupi biru matanya yang indah.
Walaupun tempatnya agak aneh dan berkesan seperti rumah ramal, dia tidak seperti seperti tukang ramal atau penyihir yang menyeramkan.
Pria ini memakai kemeja putih yang dilapisi rompi coklat dan celana panjang yang sewarna dengan rompinya.
Benar-benar seorang pria tampan.

Aku duduk di sofa merah yang berhadapan dengan satu kursi. Pria itu kemudian duduk di kursi itu.

"Perkenalkan, namaku Hellios. Siapa namamu?" tanyanya

"Rue Springfield."

"Nona Springfield, adakah keinginanmu yang tidak bisa kau wujudkan sehingga kau membutuhkan bantuanku?" wuah, kalimat yang luar biasa.

"Um... sebenarnya..."

"Kau tidak bermaksud untuk memintaku jadi pacarmu kan?" tanyanya langsung memotong kalimatku.

Aku mengangkat alis. "Hah..? Aku tidak bermaksud untuk itu."

Hellios memejamkan mata lalu menghela nafas. Entah kenapa dia terdengar lega. "Akhirnya, pengunjung yang benar-benar pengunjung."

Aku hanya diam memperhatikannya. Orang yang aneh. Hellios, yang melihatku agak kebingungan, tersenyum. "Pengunjung yang dari tadi hanya berkeinginan untuk memintaku menjadi pacar mereka. Aku mendapat sedikit konflik saat menolak mereka. Mereka bilang harusnya aku mengabulkan keinginan mereka."

Ho..
Pantas saja pengunjungnya sebagian besar adalah wanita dan keluar dengan wajah suram.

"Baiklah. Lanjutkan, nona Springfield."

".. Aku... ingin bisa masuk ke sekolah Leffayles.." ucapku pelan.

"Leffayles? Bukankah itu sekolah yang mudah dimasuki jika memiliki--"

"ya, bakat. Aku tahu itu. Tapi... aku tidak punya bakat." ucapku memotong ucapannya.

"Kalau tidak berbakat, ya tidak perlu masuk." ucap Hellios begitu ringan dan enteng, seakan tanpa beban.

Rasanya hatiku baru di panah dengan kalimat TIDAK BERBAKAT. Aku memojokkan diri di ujung sofa.
Aura suram mengelilingiku.

"Masih banyak sekolah lain yang pasti ingin menerimamu." ucap Hellios lagi.

Aku hanya menunduk dengan wajah sedih. "Keluargaku memiliki masalah keuangan yang cukup sulit... Selain Leffayles, tidak ada lagi sekolah yang mau menerima murid lain atas kemampuan atau bakat..."

"Aku ingin sekali masuk Leffayles." kalimatku yang terakhir kuucapkan dengan sangat pelan.

Suasana hening untuk sesaat. Aku tahu Hellios memperhatikanku walaupun kepalaku tertunduk.

"Hm... Baiklah." mataku membelak dan aku langsung mengangkat kepala. Hellios berdiri dan menuju rak buku yang ada di sebelah meja dengan lampu remang-remang tersebut. "Itu bukan hal sulit bagiku."

Senyuman langsung memenuhi wajahku dan langsung berdiri. "Benarkah?? Kau bisa melakukan itu?"

"Tapi kuberitahu saja, sebagai peringatan, nona Springfield." Hellios berbalik dan berjalan mendekatiku. "Aku mampu memasukkanmu ke Leffayles, sekolah yang termasyur." pria berambut kuning ini sangat tinggi, apalagi saat berdiri di hadapanku sekarang. Aku hanya setinggi dadanya saja.
"Tapi akan sangat sulit bagimu untuk bertahan di sana, apalagi seperti yang kau bilang, kau tidak punya bakat apapun."

Hellios menunduk dan tersenyum ramah."Apa kau mampu bertahan di sana?"

"Cuma butuh perjuangan kan? Tidak masalah untukku. Aku sudah tahu itu sejak awal." pertanyaannya langsung kujawab.

"Bagus." ucapnya tanpa kehilangan senyum di wajah. Hellios memberikan kartu padaku.
"Jika urusannya selesai aku akan menelponmu, silahkan diisi dengan nama, keinginan dan telepon."
Aku melakukan apa yang ia katakan lalu memberikan kembali kartu tersebut padanya.

"Lalu ini." Hellios memberikanku kartu lagi. Kali ini adalah kartu nama.

Hellios Wavewind.

"Bila ada keinginan yang tidak bisa terkabul lagi, kau boleh menghubungiku kapan saja."

Kartu nama itu kupegang erat. "Terima kasih banyak." aku tersenyum padanya. "Terima kasih karena ingin membantuku."

"Keinginanmu adalah perintahku." ucap Hellios. "Itulah Magic Lamp."

Aku pun merogoh-rogoh kantung celanaku. Begitu menemukan apa yang kucari, langsung kuberikan padanya.
"Ini. Kupon makan gratis selama sebulan di Spring cafe. Ini balasannya karena membantuku. Itu kupon yang amat jarang ada! Satu kali dalam seumur hidup!"

Hellios mengangkat alis sambil menerima kupon itu.
"Sekali lagi, terima kasih Tuan Hellios. Karena sudah malam, aku harus pulang. Selamat malam."

Aku keluar dari tenda Magic Lamp dengan girang. Di luar tenda, Loff berdiri menungguku.

"Ah, Loff! Kau menjemputku ya."

"Cii.." Loff melompat ke batu tinggi agar sampai di bahuku. Kalau sudah malam, Loff memang sering menjemputku. Cerpelai yang sangat baik sekali.

"Kau tahu Loff, aku akan masuk ke Leffayles! Itu sudah pasti! Kau tahu itu apa artinya???"

Aku mengangkat Loff tinggi-tinggi. "Aku bisa bersekolah di sana!" lalu melempar cerpelai itu tinggi-tinggi pula.
Terlalu lewat senang sampai-sampai tidak mendengar teriakan Loff yang ketakutan.
Tapi aku benar-benar senang sekali!

~~~

Keesokkan harinya,
Kesenanganku masih belum hilang. Sepanjang hari mungkin aku bisa tersenyum terus-terusan.

Dari pagi pun aku tersenyum terus.

"Kak... hari ini kau sedang tidak beres ya..?" tanya Ron, adikku, ketika aku memberikan tumpukan piring dan gelas kotor.

"Oh, begitukah?" aku malah tertawa saja.

Biarpun hari ini Spring Cafe ramai sekali dan membuatku sibuk, biarpun ibuku marah-marah karena ekspresiku membuat pengunjung ketakutan, aku tetap senang. Mau bagaimana lagi, dalam beberapa hari lagi mungkin, aku akan menjadi murid LEFFAYLES!

Seperti hari-hari biasa, setelah menjelang sore, murid-murid sekolah Leffayles mulai keluar dan pulang. Ada pula yang mampir ke cafe.
Sekolah impianku itu hanya tinggal sejauh telepon dari Hellios saja. Sebentar lagi aku akan masuk ke Leffayles.

Aku melihat Alice dan Arisa masuk ke cafe. Aku hanya melambai pada mereka, begitu pun mereka.

"Mau pesan apa?" tanyaku, siap dengan memo dan pen.

"Kopi dan cheese cake 2. Bagaimana Magic Lamp?" begitu menyebutkan peranan, Alice langsung bertanya.

Aku menurunkan memo dan penku. Mulai lagi tersenyum seperti orang bodoh. Arisa mengangkat alis. "Jangan-jangan berhasil?"
Mataku berbinar-binar. Kepalaku mengangguk-angguk cepat.

Tiba-tiba Alice teriak kencang dan langsung menutup mulutnya. Semua orang sampai menoleh ke arahnya. Teriakkannya mampu menarik perhatian semua orang yang sedang mengobrol ramai di cafe.

"Rue! Apa yang kau lakukan???" ibuku mulai berseru lagi.

"Yaaa. Aku akan membawa pesanan dulu. Nanti kita lanjutkan." ucapku yang lalu buru-buru kembali bekerja.
Alice dan Arisa tahu kalau aku hanya bisa mengobrol dengan mereka jika cafe sudah sepi.
Ibuku sudah marah-marah, sangat gawat kalau aku meninggalkan pekerjaanku karena kesenangan luar biasa yang sedang kurasakan ini.

Hari mulai malam.
Pelanggan sudah mulai pulang dan jarang yang datang, sampai akhirnya hanya bersisa Alice dan Arisa.

Aku pun menghampiri mereka dan menarik kursi dari meja lain untuk duduk di antara mereka.
"Maaf ya menunggu lama, hari ini sibuk sekali." ucapku

"Tidak masal--"

"Iya iya! Tidak apa-apa! Sekarang cepat ceritakan!" Alice berseru kencang lagi. Ucapan Arisa saja sampai dipotong karena kalah cepat.
Aku tersenyum lebar lagi. "Dia bilang kalau dia sudah berhasil, dia akan menelponku! Aku sungguh tidak sabar!" aku jadi ikut-ikutan berseru.

"Apa dia tidak menuntut apapun?" tanya Arisa.

"Tidak. Dia bilang 'Keinginanmu adalah Perintahku'. Kurasa itu moto dari Magic Lamp tersebut." aku menjawabnya.

"Hm.. aneh." Arisa memegang dagunya, seperti memikirkan sesuatu. "Seharusnya--"

"Aah, Arisa. Jangan berpikir terlalu ilmiah. Jadi jadi, kapan dia akan menelpon???" Alice benar-benar tidak sabar.
Tentunya saja aku lebih tidak sabar lagi.

"Tidak tahu. Tapi kuharap secepatnya!"

"Ci ci ci.."

Suara seperti tikus yang kukenal membuatku menoleh. Loff datang dengan membawa handphoneku di mulutnya.

"Loff, ada sesuatu?"

Aku melihat handphoneku bergetar dan berdering. Mataku membelak besar dan langsung saja ku'jambret' handphoneku dari Loff. Untung gigi Loff tidak putus.

"Telepon dari Magic Lamp???" tanya Alice.

Aku mengangguk senang pada Alice dan buru-buru mengangkat. "Ya, halo???"

"Halo, nona Springfield? Ini Hellios."

"Iya ini aku Rue! Bagaimana??? Apa ada kabar???" tanyaku langsung.

"Kau kelihatan semangat sekali..." bisa kudengar suara tawa kecil darinya.

"Habisnya, aku memang sudah tidak sabar menunggu kabar darimu. Jadi bagaimana???? Aku bisa masuk atau tidaaak???"

Masih bisa kudengar Heliios tertawa. Dia ternyata agak menyebalkan juga. "Hey!"
Akhirnya aku meneriakinya.

"Ya, ya, tenang..." dia berusaha menahan tawa. "Maaf, maaf, aku belum pernah dengar orang yang begitu ingin masuk sekolah itu..."

Uukh..
Apa sih yang lucu dari itu??
Arisa dan Alice saling bertukar pandangan.
Mungkin bingung melihat ekspresi tidak sabarku.

"Jadi...????" suaraku sudah kutahan-tahan agar tidak meneriakinya.

Hellios mendeham. "Bagaimana kalau kubilang TIDAK?"

Tubuhku kaku.
Mataku membelak besar.
Sesaat... kepalaku terasa kosong.
Tanganku menggenggam erat handphone-ku.

".. Tidak apa maksudmu...?"

"Tidak diterima." suara Hellios pun menjadi serius.
Padahal dia sedang tertawa-tawa tadi.
Kepalaku menunduk.
Tanganku yang satu lagi mencengkram celemek waitress-ku.
Rasanya ingin menangis...

"O, oh.. Yah mau bagaimana lagi..."

"Rue...?" Alice memanggil namaku.
Kurasa dia pun ikut khawatir melihat reaksiku dan kurasa juda mereka sudah tahu hasil yang diberikan oleh pemilik Magic Lamp ini.

"...Aku juga tidak berharap banyak.." apa yang kuucapkan ini bohong.
Aku sebenarnya sangat berharap.

"Nona Springfield--"

Tahu-tahu Alice menjambret handphone-ku.
Arisa mengangkat alis. Aku terlalu terkejut untuk bicara.

"HEI!"

Bisa kubayangkan Hellios menjauhkan telinganya dari telepon karena suara Alice yang sangat kencang. Aku pasti begitu dengan suara senyaring Alice meneriakinya.

"T, tunggu.. Siapa ini..??" aku bisa mendengar suara Hellios yang kaget.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku! Apa ini benar dari Magic Lamp???" Alice terus meneriakinya.

"Alice, sebentar--" Arisa menarik tanganku.
Aku menoleh pada Arisa.

"Biarkan saja, Rue. Alice memang seperti itu." Arisa hanya menyeringai.

"Kalau kau dari Magic Lamp, kenapa keinginan Rue gagal kau penuhi!!??" aku tersentak mendengar suara nyaring Alice.
Untung-untung saja sudah tidak ada pelanggan di cafe ini.

Untuk sesaat, suasana hening ketika Alice mendengarkan apa balasan dari Hellios.
Ekspresi wajahnya lambat laun berubah.
Aku jadi heran dan penasaran dengan apa yang Alice dengar dari Hellios.
Alis mata Alice terangkat.

"Ooohhh...."

"Hahaha... Maaf."

"Iya, iya, makanya aku minta maaf."

"Oh, baiklah."

"Rue, orang ini ingin bicara denganmu."

Aku tambah heran lalu menerima handphone-ku. Sebelum mendekatkannya ke telingaku, aku bertanya bisu pada Alice "Apa yang terjadi??"
Alice pun membalas bisu, "Jawab saja."

Aku pun mendekatkan handphone ke telinga.
"Halo?"

"Nona Springfield, jangan katakan kalau kau sedang menangis.." Hellios langsung menyambar.

"... Ha, hampir... Sebenarnya ada apa?"

"Yang kukatakan tadi semuanya hanya bercanda."

Mataku membelak besar.
Aku langsung menoleh ke Alice yang sudah menutup mulutnya agar tidak berteriak. Arisa pun sudah tahu dari reaksi Alice yang benar-benar mengatakan sebenarnya.

"Jadi--"

"Iya, kau diterima."

Pipiku menjadi merah. Alis mataku mengerut dalam.
Jadi aku kena tipu...
Sialan.

Aku bisa mendengar Hellios tertawa kecil. "Maaf a--"

Langsung kututup slide handphone-ku.
Aku kesal. Kesal sekali.

Aku berdiri. "Menyebalkaaan!! Kesal! Kesal! Aku kesal!" untuk menghilangkan kekesalan yang meluap-luap, aku teriak amat keras.

Alice tertawa, "Iya! Aku tahu kau juga senang karena aku juga!!" Alice berdiri juga dan memelukku.

"Selamat Rue!" Arisa pun memelukku.

Nafasku terengah-engah setelah teriakan yang menyerakkan suara kukeluarkan.
Barulah aku sadar.

"Aku diterima!!"

Aku, Alice dan Arisa, bertiga saling berpelukkan.
Tapi tidak berapa lama kemudian langsung melepaskan diri masing-masing.
"Kita seperti orang aneh saja..." ucap Arisa sambil membenarkan kacamata.

"Karena Rue sudah diterima, tenang dan senang sudah sekarang." ucap Alice.
Arisa melihat ke jam dinding cafe. Sudah hampir malam sekali. "Kurasa sudah waktunya kita pulang." ucap Arisa.

Aku jadi menoleh ke jam dinding. Benar juga. "Terima kasih sudah datang. Terima kasih lagi karena mau menemaniku bicara di sini. Mulai sekarang mohon bimbingannya ya!"

"Tentu saja. Sampai nanti, Rue." ucap Arisa.

"Dah." bersama dengan Arisa, Alice pun keluar dari cafe.

Aku menghela nafas panjang.
Aku tertawa sendiri karena rasa senang ini.
Benar-benar luar biasa, aku benar-benar diterima di sekolah yang kuinginkan sejak lama.
Sekolah yang hanya sejauh seberang jalan, tapi tidak pernah bisa kuraih.
Tapi sekarang sudah bisa!
Aku mencubit pipiku sendiri.
Sakit dan bukan mimpi!

"Ci ci." mendengar itu, aku melihat ke meja, darimana suara itu berasal.
Loff berputar-putar di meja. Sepertinya menyuruhku membereskan meja.

Aku mengangkat Loff. "Loff! Aku diterima!! Kau percaya itu?? Aku diterima!"

Saking senangnya, aku berputar-putar sambil memegang Loff. Agak tidak peduli akan ketakutan Loff sampai memberontak.
Lalu, aku jadi teringat sesuatu.
Aku berhenti berputar dan melepaskan Loff.
Cerpelai putih itu langsung lari ke dalam karena ketakutan.

Aku membuka slide handphone-ku. Di bagian Received calls, masih ada nomor Hellios. Aku menekan tombol call.

Setelah menunggu beberapa saat, Hellios mengangkat. "Dengan Magic Lamp."

"Hellios..? Ini aku Rue."

"Ah, nona Springfield.. Sudah kuduga kau akan menelepon." ucapnya.

Aku tersenyum. "Terima kasih sudah mengabulkan keinginanku."

"Hm.. Aku pun minta maaf sudah bercanda keterlaluan." aku pun bisa merasa Hellios ikut tersenyum.

"Itu sudah tidak masalah. Aku benar-benar senang.. Aku diterimaaa!!" aku teriak keras padanya karena kelewat senang. Mungkin dia sampai menjauhkan telinganya dari handphone. "Bagaimana caranya kau melakukan itu???"

Hellios tertawa kecil. "Yah, itu rahasia Magic Lamp. Aku punya caraku sendiri."

"Rue! Cepat bereskan meja-meja! Jangan telepon terus!"

"Ya..!" setelah menjawab seruan ibuku, aku kembali ke telepon. "Kapan aku bisa masuk?"

"Datanglah besok. Aku akan memberitahu semuanya."

"RUE!!" kali ini ibuku sudah mengamuk.

"Baiklah. Terima kasih atas bantuannya, Hellios. Sudah, ya." langsung kumatikan handphone-ku tanpa menunggu balasan dari Hellios.

Aku pun langsung merapikan meja dan membereskan piring juga gelas di atasnya.

Ah, masih banyak meja yang harus kubereskan, belum lagi menutup jendela, pintu, menyapu, pel dan masih banyak lainnya. Hal ini semuanya kulakukan tiap hari.

Tanganku berhenti mengelap meja.
Benar juga.
Tiap hari. Setiap hari Spring cafe ini selalu sibuk.
Kalau aku sekolah nanti... Bagaimana dengan cafe ini...?

Perasaan senang yang tadinya meluap-luap, perlahan hilang.
Aku mulai bingung dan khawatir.. Juga sedih, mungkin..
Perasaanku itu pun muncul di wajahku.

Aku kemudian membawa piring dan gelas menuju dapur. Di sana, Ron sedang mencuci piring dan ibu sedang membersihkan dapur.
Aku menyerahkan semua piring dan gelas pada Ron, lalu berjalan menuju ibuku.

"Um.. Ibu.."

"Hm?"

"Tadi.. aku baru mendapat pemberitahuan kalau aku bisa masuk ke Leffayles.."

Ron langsung menoleh padaku. "Apa!?"
Kalau dia terkejut, aku tidak heran. Ron juga sekolah di Leffayles. Apa aku tidak pernah bilang? Dia diterima free karena bakat Tekniknya.

"Kau kan tidak punya bakat??? Kenapa bisa masuk???"

Adik kurang ajar. Aku langsung menendang tulang keringnya. "Cuci piring sana!" aku berseru padanya.
Ron hanya mengeram kesakitan. Tentu saja. Siapa yang tidak sakit?

"Kau bisa masuk Leffayles? Bukankah itu bagus?" ucap ibuku.

Iya, memang bagus.
Aku menundukkan kepala.
Tapi, ada pula tidak bagusnya.

"Kenapa murung seperti itu?" tanya ibu.

"Kalau dia sekolah, tidak ada yang jadi Waitress. Dan. Aku. Tidak. Ingin. Jadi. Waiter!" sekali lagi, aku menendang Ron. Tapi kali ini tidak kena, karena dia menghindar.

"Jangan harap aku bisa kena du--" kulempar sponge cuci piring penuh busa ke wajahnya.

"Kubilang cuci piring sana!" aku membentaknya lagi.

Ibu melihatku. Aku pun menghela nafas. "... Iya. Itu yang ingin kubilang... Bagaimana dengan cafe ini..?" ucapku dengan kepala tertunduk.

"... Kalau begitu jangan masuk Leffayles." jawaban ibu yang singkat dan cepat membuatku langsung mengangkat kepala.

"Haaah??? Ibu serius??? Kumohon bilang iyaaa!" mataku sudah berkaca-kaca.

"Kalau begitu tidak perlu dipikirkan apa yang akan terjadi dengan cafe ini, Rue." aku mengerutkan alis atas ucapan ibuku. Ibu menganggapku menelantarkan cafe ini atau... beliau mendukungku..? Aku tidak tahu entah yang mana maksudnya.

"... Kau sudah senang sekali bisa masuk Leffayles. Spring cafe ini pun masih bisa berjalan walau kau tidak ada." jarak antar alisku menyempit. Jadi... aku dianggap menelantarkan cafe ini?
Aku jadi merasa bahwa masuk ke Leffayles bukan lagi hal yang kuinginkan. Aku jadi merasa aku ini tidak dibutuhkan... serasa diusir dari tempat ini. Rumahku sendiri. Mataku semakin panas dan buram. Air sudah memenuhi mataku.

"Ibu bisa meminta ayah mempekerjakan seseorang sebagai waitress. Kau boleh bebas dengan sekolahmu. Ibu mengerti itu."

Kalimat 3 kata terakhir yang diucapkan ibu, baru menyadarkanku. Ibu tersenyum melihatku. "Aku tidak mengusirmu."

Akhirnya air yang sudah mengumpul di mataku, terjun keluar semua seperti air terjun. Aku pun memeluk ibuku. "Terima kasih, bu!"
Ibu menepuk-nepuk bahuku sambil menghela nafas.

"Kau sudah besar tapi masih cengeng." ucap beliau. Aku hanya tersenyum di bahu ibuku.

"Dia memang cengeng." ucapan Ron mengganggu suasana.

"Cuci piring sana!"

"Iya! Aku tahu, cerewet!"

~~~

Seperti apa yang disuruh Hellios, keesokkan harinya, ibu memberikanku libur dan aku pun langsung menuju Magic Lamp.
Tapi kali ini aku ditemani oleh Alice dan Arisa, karena hari ini adalah hari Minggu. Mereka berdua libur sekolah.

Karena hari ini hari libur sekolah, pantai Leaf pun sangat ramai. Kuulangi lagi. Sangat. Ramai.
Orang tua, anak kecil, anak muda sampai kakek nenek pun ada di pantai ini. Tentu saja, Magic Lamp jauh lebih ramai daripada terakhir saat aku datang. Antriannya memanjang seperti piton. Lebih dari piton.

"Jadi ini Magic Lamp?" ucap Alice. Aku, Arisa dan Alice berdiri agak jauh dari tenda norak Magic Lamp, melihat antrian panjang yang mematikan.

"Kapan kita bisa masuk... dengan antrian seperti ini?" ucap Alice lagi.

"Terakhir kali kudatang, tidak seramai ini, tapi aku masuk saat menjelang malam..." itu kujadikan jawaban untuknya.

Arisa menaikkan kacamatanya. ".. Kalau begitu.. Mungkin besok malam kita baru bisa masuk."

Alice tertawa garing. "Jangan mengalkulasi yang tidak-tidak, Arisa." ucap Alice sambil menepuk-nepuk bahu Arisa.

"... Aku setuju dengan Arisa." ucapku.

Alice menghela nafas lalu melipat tangan. "Kalian berdua... Tidak pernah dengar yang namanya menyerobot ya?" ucap Alice, enteng.

Aku menoleh ke Alice. "Pernah... tapi tidak berniat untuk melakukannya." ucapku. Alice nyengir. Entah kenapa senyumannya itu ada hawa-aura iblis.

Arisa mengangkat alis saat melihat wajah Alice seperti itu. "Alice.. Lakukan apapun ide busukmu itu." dan Arisa menyetujuinya.

Aku langsung menoleh ke Arisa yang tenang dengan wajah kaget. Lalu menoleh lagi ke Alice yang nyengir seperti setan.
Ada apa dengan dua orang ini??

"Ayo." Alice menarik tanganku. Aku menoleh ke Arisa yang hanya melambaikan tangan. Kemudian Arisa menjambret sebuah pelampung dari seseorang dan mengeluarkan spidol.
Apa sih yang sedang mereka pikirkan?

Aku ditarik Alice terus sampai ke belakang Magic Lamp.
"Mau apa kita ke sini??" tanyaku dengan suara pelan.

Alice mengangkat kain tenda. "Cepat masuk." ucap Alice pelan-pelan pula

"Hah?? Masuk?? Yang benar saja..!"

"Sudah, diam. Cepat masuk." aku menghela nafas lalu masuk, tepatnya sih menyusup ke dalam tenda.

Aku masuk tepat di paling belakang tenda ini. Untuk saja ada meja yang menutupiku sehingga Hellios dan pengunjungnya itu tidak menyadari keberadaanku...
Aku merasa seperti pencuri atau penyusup...

"Apa kau benar-benar tidak bisa menjadi pacarku...?"

Ah, pelanggan Hellios perempuan dan seperti yang ia bilang saat itu, hampir setiap perempuan ingin menjadikannya pacar. Aku tidak heran..
Hellios memang rupawan.

"Maaf, aku hanya bisa mengabulkan permintaan yang berbentuk saja." Hellios menolak dengan halus.

"Tapi--"

"Jika ada permintaan lain, silahkan kembali kapan saja." setelah itu Hellios mengakhiri tugasnya dengan perempuan itu. Kudengar suara sibakkan kain seperti perempuan itu keluar dengan kecewa. Suara langkah kaki terdengar mendekati tempatku.
Gawat. Aku mengintip dari bawah meja bahwa Hellios menghampiri tempat ini.
Begitu ia sampai dan melihatku yang sedang jongkok di balik meja, matanya di balik kacamata langsung membelak besar. Mulutnya terbuka untuk mengeluarkan suara tapi aku langsung mengancungkan jari di depan mulutku. Menyuruhnya untuk diam.

Hellios mengangkat alis dan sepertinya tersadar bahwa aku masuk diam-diam. Dia mendeham lalu kembali ke kursi depan sofa merah, tempat duduknya saat menerima pengunjung.

Aku dan Hellios menunggu beberapa saat untuk pengunjung berikutnya tapi tidak datang-datang.
Aneh. Padahal tadi kan banyak dan harusnya tidak secepat itu habis.
... Lebih aneh lagi aku yang ada di sini...

Kepala Alice tahu-tahu muncul dari bawah tenda.
Aku menutup mulutku untuk menahan teriakan. Siapa yang tidak kaget kalau dia muncul seperti itu????

"Hei, aku dan Arisa menjaga di luar. Pengunjungnya sudah diistirahatkan, cepat bicara dengannya." setelah itu Alice langsung keluar lagi.

Aku memegang dadaku.
Tadi benar-benar sangat mengagetkan...

Aku berdiri dan menghampiri Hellios. Hellios nampak tidak terkejut melihatku menghampiri dan duduk di sofa merahnya. Dia tersenyum ramah seperti biasa.
"Biar kutebak, kau menyerobot dan temanmu mengistirahatkan antrian panjang itu?"

"... Ini pertama kalinya aku menyerobot dan... bukan karena ideku pula.." ucapku pelan.

Hellios hanya tertawa kecil. Hari ini dia memakai kemeja biru dengan rompi hitam lalu celana panjang hitam pula. Penampilannya selalu terlihat tampan, menarik dan rapi. Tidak heran semua perempuan ingin menjadikannya pacar.

"Jadi...? Kapan aku bisa masuk??" tanyaku dengan nada tidak sabar.

Hellios berhenti tertawa. "Ah, iya. Ada yang ingin kuberikan."
Dia berdiri lalu berjalan menuju rak buku, tetapi dia tidak mengambil buku melainkan mengambil kardus yang diletakkan di atas rak. Kardus itu kemudian diberikan padaku.

"Apa ini...?" tanyaku dengan suara yang agak gemetar. Ada logo LF di kardus ini. Logo Leffayles...

"Kau bisa membukanya di rumah. Sebelum itu, nona Springfield, dengarkan aku baik-baik." aku mengangkat kepala dan memperhatikannya. Tatapan mata Hellios menjadi serius. Aku pun jadi ikut serius.

"Kau akan masuk hari Senin ini." mataku membelak lebar. Secepat itukah?? "Temui kepala sekolah Leffayles, Viore Leffrasha. Sebutkan namamu dan dia akan langsung mengenalimu sebagai murid yang direkomendasikan atas jurusan Seni."

"Seni!? Kau merekomendasikanku ke jurusan Seni!? Aku kan tidak bisa Seni! Aku memang bilang akan berusaha tapi kalau Seni, aku- aku- aku benar-benar tidak mampu!" aku langsung panik. Sangat panik. Bagaimana kalau ada ujian melukis atau memahat atau mengukir atau apapun Seni itu??? Aku bisa tewas.

Hellios tersenyum."Tenanglah. Setelah kau lihat nanti, kurasa kau pasti mampu. Kau bisa menggambar...?" tanyanya dengan tenang.

".. Bisa.. Tapi gambar anak kecil..." aku menundukkan kepala dengan malu.

"Bagus, itu saja sudah cukup." ucap Hellios lagi.

"Yang benar..?" tanyaku lagi dengan ragu. Hellios hanya mengangguk dengan senyuman ramah.

"Ya, kemudian kepala sekolah Viore akan memberikanmu jadwal dan setelah itu, kau resmi murid Leffayles." ucapnya begitu tenang.

"... Itu saja...?" tanyaku.
Hellios hanya mengangguk. Senyuman tidak meninggalkan wajahnya.

Benar-benar sulit dipercaya. Besok... aku sudah merupakan murid Leffayles.
Aku mencubit pipiku.

"Tidak percaya bahwa ini jadi kenyataan?" tanya Hellios yang menyadari tindakanku menandakan kalau aku masih tidak percaya.

"... Benar bukan mimpi ya...?" tanganku memegang pipiku yang baru saja kucubit. Sakit berarti bukan mimpi.

"Belum pernah kulihat ada seseorang yang bermimpi masuk ke Leffayles sepertimu." mendengar itu dari Hellios, aku mengangkat alis.

"Mana mungkin. Pasti banyak pula orang yang bermimpi untuk masuk sekolah termasyur seperti itu. Maksudku, Leffayles itu sangat terkenal dan bagus. Pasti banyak orang yang ingin masuk sekolah itu. Kenapa tiba-tiba bilang begitu?" tanyaku pada akhirnya.

"Tidak. Ini menurut pandanganku saja." Hellios menarik kursinya lebih dekat padaku tanpa berdiri, kemudian ia membungkuk agar face-to-face denganku.
Dengan jarak yang kupikir hanya 15cm, aku bisa melihat matanya dengan jelas dibalik kacamata zaman dulu yang besar. Mata biru laut menatap mata coklat milikku.

Kedua tangannya mencubit pipiku. "Aduh, sakit!"
Aku menepuk kedua tangannya sampai dia melepaskan pipiku. Hellios lalu mundur dan tertawa. Aku memegang kedua pipiku yang dicubit olehnya. "Sakit tahu, dasar bodoh." aku mengeluh.

Hellios berhenti tertawa lalu berdiri.
"Nah, tugasku sudah selesai dengan complete. Ada lagi yang bisa kubantu?" tanyanya dengan suara seperti penerima tamu.

"..Um.. Kurasa tidak ada."

"Baiklah. Terima kasih, kuharap kau ingin kembali ke Magic Lamp..."
Hellios membungkuk dengan satu tangan di punggung, kemudian mengangkat tanganku. Aku hanya duduk diam di sofa merah, sama sekali tidak tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Mata Hellios terpejam.
"Keinginanmu.. adalah perintahku."
Bibirnya dengan lembut bersentuhan dengan punggung tanganku yang ia angkat.

Pipiku langsung memerah.
"A, apa kau melakukan itu dengan semua pengunjung?"

Hellios melepaskan tanganku. Wajahnya masih tersenyum seperti biasa. "Ya, jika aku menyelesaikan keinginannya dengan sempurna."

"... Salah satu cara agar pengunjung itu datang lagi ya?"

"Benar." jawabnya enteng.
Aku tersenyum lalu tertawa.

"Kalau pria bagaimana? Apa kau akan mencium tangannya juga?" tanyaku.

"... Belum pernah aku menerima pengunjung pria." wajah Hellios yang agak geli ketika memikirkan dirinya mencium tangan pria membuatku tertawa lebih keras.

Menyadari bahwa aku telah mendapatkan apa yang aku inginkan, aku pun berdiri dengan membawa kardus Leffayles di tanganku.

"Aku akan datang lagi." ucapku pada Hellios. "Boleh kan aku datang tanpa keinginan?"

"Ya, tentu saja."

"Terima kasih, Hellios. Panggil aku Rue saja. Sampai jumpa lagi." ucapku.

"Sampai jumpa lagi, Rue."

Aku berbalik lalu berjalan ke arah jalan keluar.
"Rue, tunggu sebentar." Hellios memanggilku sebelum aku sempat menyibak lain tenda.

"Ada apa lagi?"

"Tolong keluar melalui tempat kau masuk tadi." Hellios menunjuk tempat tadi aku menyusup dengan jempolnya.

"Hah??? Apa itu perlakuanmu pada pengunjungmu???" rasanya apa yang ia lakukan saat mencium tanganku dengan elegan, runtuh saat dia menyuruhku keluar lewat kolong tenda.

"Kalau ketahuan pengunjung lain bisa gawat. Lagipula, kau kan pengunjung yang menyerobot dan menyusup."

Ukh.. Orang ini.
Memang benar apa yang dia katakan, tapi apa perlu dikatakan sejujur dan seenteng itu???

"Jangan salahkan aku kalau kau sulit sekali untuk ditemui (dengan antrian yang lebih panjang dari piton)." tanpa menunggu balasan darinya, aku berjalan menuju kolong tempat aku masuk tadi.

"Kau boleh masuk dari situ kapan saja." aku sempat mendengar itu dari Hellios tapi tidak membalas apa-apa padanya.
Aku tersenyum.
Baguslah.

Aku mendorong kardus Leffayles keluar terlebih dahulu baru merangkak keluar. Di luar, Alice berdiri di samping tempat aku keluar. Kelihatannya dia menungguku.

"Rue, sudah selesai?" tanya Alice.

Jawabanku hanya senyuman lebar dan menepuk kardus dengan logo LF.

"Bagus! Bagus sekali! Aku akan memanggil Arisa untuk mencabut tanda istirahat di depan tenda!" Alice pun berlari ke arah depan tenda. Jadi itu cara mereka menghentikan antrian super panjang...

Aku duduk di pasir halus pantai Leaf ini. Di depanku adalah kardus LF. Kardus Leffayles. Entah apa isinya membuatku berdebar-debar... juga senang.
Aku terus tersenyum.
Besok aku akan masuk Leffayles!!

~~~

Besok pagi, Alice dan Arisa akan menjemputku di depan pintu gerbang Leffayles. Yang kuperlukan adalah persiapan baik fisik (penampilan) atau mental.
Di rumah, tepatnya di kamarku, aku duduk di tempat tidur. Kardus Leffayles berada di depanku. Loff mengendus kardus tersebut. Kelihatannya Loff pun penasaran.
Jantungku berdebar-debar. Entah apa isinya. Aku buru-buru merobek lakban yang menutupi kardus itu lalu kubuka. Barang pertama yang kulihat adalah buku sketsa yang besar serta alat lukis seperti kuas, pensil dalam berbagai jenis yang diikat menjadi satu bersama palette. Aku benar-benar direkomendasikan ke jurusan seni. Jantungku makin berdebar. Bagaimana kalau aku tidak bisa???? Menggambar orang-orangan sawah saja tidak jadi-jadi...
Badan Loff yang panjang membuatnya mampu berdiri dan melihat ke dalam kardus. "Ci ci."
Aku melihat ke dalam kardus. Mataku terbuka sedikit lebih lebar. Tanganku meraih benda tersebut.
Kain berwarna merah dan emas yang lembut kutarik keluar dari kardus. Rompi dengan flapping yang panjang yang berwarna merah dan emas. Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku merogoh lagi barang yang ada di kardus. Kemeja putih dan dasi! Ini... seragam Leffayles!

Aku buru-buru berdiri dari tempat tidur untuk melihat rompi itu lebih jelas. Rompi ini panjang sekali seperti jubah tapi rompi... Dengan tergesa-gesa aku melepas semua pakaianku dan mencoba seragam yang baru saja kudapat. Aku memakai kemejanya terlebih dahulu. Kerah dan ujung lengan tangan panjang kemeja ini berwarna merah dengan garis emas. Lalu dilapisi rompi flapping itu. Aku mengancing seluruh kancing rompi ini, kemudian berdiri depan cermin.
Rompi yang sepanjang lutut ini sudah membuat seperti memakai rok. Pantas saja tidak diberikan rok. Kancing rompi dimulai dari bawah dada karena di atasnya terbuka bentuk V dan dipatahkan oleh segitiga di masing-masing sisi. Kurasa agar dasinya terlihat. Di bagian pinggang ada sambungan belt agar terlihat ketat dan seperti memakai rok.
Luar biasa...
Sempurna sekali...
Ukurannya pun pas denganku.

Aku tersenyum dan berputar-putar. Aku benar-benar menjadi murid Leffayles dengan seragam ini dan seragam ini milikku!!

"Oi, kak." pintu kamarku terbuka tiba-tiba karena Ron.
Ron terpaku melihatku yang baru saja berhenti berputar dengan seragam Leffayles.
Matanya terbuka lebar dan ia langsung menutup pintu dengan kencang.

"Astaga! Aku baru saja melihat setan!" aku mendengarnya mengucapkan itu sambil berlari.

Aku keluar kamar dan meneriakinya, "Kurang Ajar!"

Ah, peduli amat dengannya.
Leffayles, aku akan datang padamu! Aku berpose seperti waktu di depan cafe.

-

To Be Continued

Photobucket